Malam itu, dengan agak mengantuk, saya paksakan diri untuk berangkat ke Rawamangun. Mungkin karena sorenya saya terlalu lelah menunggu teman yang baru pulang dari kampusnya di Bogor. Perjalanan Depok-Rawamangun yang sudah menjadi keseharian saya tiba-tiba menjadi perjalanan yang mengasyikkan. Berangkat dari rumah sekitar pukul 20.30, saya pun harus terlebih dahulu mampir ke rumah teman saya itu. Ya, malam itu rencananya kami akan menginap di Labschool Rawamangun.
Saya pun tiba dirumahnya sekitar pukul 21.15, itu pun tidak langsung berangkat karena teman saya ini harus bersiap-siap telebih dahulu. Maklum, dia baru tiba sekitar 2 jam yang lalu. Setelah sekitar 30 menit menunggu, kami pun berangkat. Malam itu udaranya begitu sejuk, malam ke-27 Ramadhan yang menggetarkan hati. Perjalanan pun tertempuh selama 30 menit, tapi kami tidak langsung ke Masjid, kami berhenti untuk makan dulu. Bubur ayam depan Pasar Sunan Giri yang jadi pilihan. Sambil menyantap bubur, saya juga mengobrol dengan penjualnya. Ia lulusan STM, berasal dari Brebes. Sebelum berjualan bubur, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan farmasi selama 4 tahun dengan sistem kontrak. Empat tahun bekerja dengan terus berharap agar diangkat menjadi karyawan tetap. Ya, dengan sistem kontrak ini, ia amat rentan dikeluarkan dari perusahaan. Dengan latar belakang lulusan STM, ia mula-mula bekerja di bagian mesin pembuatan obat, sebagai asisten terlebih dahulu. Walaupun pada awalnya sempat grogi karena memang tidak ada latar belakang pendidikan farmasi sebelumnya, namun ia dapat bekerja dengan baik. Selama apapun ia bekerja, tidak akan berarti tanpa status karyawan tetap, dan akhirnya ia pun keluar dari perusahaan itu lalu memulai usaha berjualan bubur. Usahanya yang sekarang dijadikannya sebagai pundi-pundi keuangan keluarga, bahkan ia pun mampu menyekolahkan adiknya hingga lulus SMK (sedang magang di PLN). Aih, sungguh hebat.
Pikiran saya lantas menerawang jauh ke perjalanan saya dahulu di Jogja sekitar dua tahun lalu. Teringat akan dua kawan saya (saya panggil Mas keduanya untuk menghormati mereka) yang saya kenal kala menginap di Masjid Komplek DPRD Yogyakarta. Keduanya berasal dari luar Jogja, Solo (kalau tidak salah) asalnya. Menempuh perjalanan dengan menggunakan motor untuk merajut impiannya meneruskan pendidikan di Univ. Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Hari yang menakjubkan pun tersaji di hadapan saya keesokan harinya. Berkenalan dengan kakak-beradik yang berasal dari Bandung, kakaknya baru saja lulus dan menyandang gelar Sarjana Pertanian dari Univ. Padjadjaran, sedangkan adiknya ternyata punya impian yang sama dengan dua kawan saya sebelumnya; yaitu berkuliah di UGM, Kedokteran-lah bidikannya. Saya yang dengan agak nekad memilih jurusan Ilmu Pemerintahan dengan sumbangan awal Rp. 10 Jt saja sudah pusing. Nah ini, teman saya asal Bandung yang memilih Kedokteran tentu sumbangannya sudah diatas Rp. 10 Jt. (Wah, jadi agak sentimental nih). Bahkan ketakjuban saya bertambah saat saya pulang ke Jakarta, ayah saya bercerita tentang seorang lulusan UGM yang ternyata mengaku sulit mencari kerja saat ini, yang membuat saya lebih terkejut lagi, perbincangan yang luar biasa ini terjadi secara tak sengaja di sebuah warung kopi !.
Apa yang dapat ditarik dari dua kisah diatas ?. Yang pertama bercerita tentang ketiadaannya kesempatan bekerja, untuk lulusan pendidikan tinggi pun sudah sulit, apatah lagi untuk lulusan pendidikan menengah saja. Sedangkan kisah saya di Jogja adalah betapa mahalnya harga pendidikan sekarang ini. Sekelumit cerita diatas tentu belum disandingkan dengan bermacam kisah tentang ketidakmampuan dan kesempatan bersekolah bagi rakyat yang tidak mampu menikmati pendidikan. Padahal telah tegas diisyaratkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Inilah yang patut dijadikan perhatian bersama.
Berdasarkan keputusan rapat kerja yang telah disepakati oleh Komisi X DPR dengan tujuh menteri; antara lain Menko Kesra, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Menteri PPN/ Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006 ), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008 ), dan terakhir 20,1% (2009).
Sedangkan realisasinya adalah pada tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5%(2004), dari APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7 persen dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.
Sebenarnya ini semua bergantung pada pemerintah sebagai penentu kebijakan mengenai pembiayaan pendidikan di negeri ini. Apakah memiliki political will yang kuat atau tidak. Terlebih saat UU. Badan Hukum Pendidikan yang menimbulkan cukup banyak perbincangan karena isu komersialisasi pendidikan yang mengemuka. Tentu kita tidak mengharapkan bencana intelektual, saya menyebutnya demikian karena jangankan mengimpikan majunya pendidikan di Indonesia setara dengan banyak negara lainnya di dunia karena untuk masuk pendidikan dasar pun masih banyak yang tidak mampu.
Tak terasa malam itu, perbincangan kami yang panjang dan mengasyikkan ini pun harus diakhiri karena ternyata hari sudah berganti, kami ternyata mengobrol hingga melewati tengah malam. Bahkan teman saya pun tertidur karena saking mengantuknya. Setelah membayar, saya dan teman saya pun langsung menuju Labschool untuk tujuan semula.
Inspirasi :
- ” Sekolah itu Candu ”-nya Roem Topatimasang
- ” Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional ”-nya Y. Dedy Pradipto
- Obrolan dengan Mas Penjual Bubur Ayam depan Pasar Sunan Giri
- Hasil perbincangan dengan kawan saya yang berasal dari Solo dan Bandung
- http://edu-articles.com/wajah-pendidikan-kita/
Jumat, 02 April 2010
Selasa, 23 Maret 2010
Indonesia Berpendidikan
Rangkaian kata yang indah dan penuh harapan. Biasanya masalah pendidikan menjadi sesuatu yang fundamen bagi sebuah negara atau bangsa. Indonesia sendiri telah mengisyaratkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….”, maka seakan pendidikan telah digariskan menjadi salah satu tujuan dari pendirian Indonesia.
Tapi yang terjadi adalah kebalikan dari tujuan itu. Pendidikan kini kian terpinggirkan. Cerita indah bahwa seorang anak petani dapat berkuliah di Fak. Kedokteran sebuah Perguruan Tinggi Negeri, atau putra nelayan yang kuliah Teknik Pertambangan sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta sekarang semakin tidak dapat didongengkan. Suara-suara yang bercerita jika seorang anak pemulung bisa bersekolah hingga tamat SMA, telah sulit terdengar. Berganti dengan nada-nada disharmonisasi sumbang yang memainkan lagu bertemakan ironi dan sendu.
Seringkali kita dengar ada seorang anak SD kelas 5 yang bunuh diri lantaran malu untuk pergi ke sekolah karena menunggak bayaran sekolah, atau anak kecil yang dilarang pergi ke sekolah oleh orangtuanya dan memilih pergi mengamen (karena disuruh). Apakah ini isyarat yang diguratkan oleh para pendiri negeri ini ? Menjadi sebuah tujuan yang layak didengungkan ke dunia internasional ?. Jawabannya; tentu saja bukan.
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya masalah pendidikan yang melanda negeri ini. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ingin mengubah statusnya kian bergiat untuk berbenah diri dan mencari sebuah bentuk penyesuaian seperti menjadi makin mahalnya bangku kuliah. Privatisasi yang akhirnya berujung pada komersialisasi pendidikan seakan menegaskan bahwa pendidikan itu jauh dari rakyat kalangan menengah ke bawah. Tujuan dari perubahan status PTN tersebut atau lebih sering disebut dengan otonomi kampus adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Akan tetapi, sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, ada trend di beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga 60 jutaan. Sedangkan untuk program regular juga mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu hingga 25 juta. Dengan demikian, otonomi kampus nampaknya lebih cenderung pada bentuk komersialisasi pendidikan. Hingga akhirnya mengecilkan kesempatan untuk merasakan bangku kuliah. Bagaimana bila seorang anak bangsa yang mungkin tidak diterima di kampus negeri akhirnya tidak pernah bisa merasakan bangku kuliah lantaran kampus swasta sudah terlalu mahal ?.
Delapan belas koma delapan lima persen (18, 85 %) dari Rp. 1.037.067.338.120.000,00 telah membuktikannya. Bahwasanya perhatian pemerintah untuk pemerintah cukup rendah. Dalam laporan Panitia Kerja (Panja) Belanja Pemerintah Pusat disetujui belanja negara dalam RUU APBN 2010 adalah sebesar Rp. 1.037,6 triliun yang terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp. 723,2 miliar dan transfer ke daerah sebesar Rp. 314,4 miliar. Jumlah ini meningkat sebanyak Rp. 44,67 triliun dibandingkan dengan APBN pada tahun 2009.
Ironisnya, anggaran untuk pendidikan justru menurun saat APBN naik. Padahal, anggaran pendidikan tahun 2009 mencapai Rp. 207,4 triliun. Menyusut hampir Rp. 11,8 triliun, tidak sesuai dengan harapan kita bersama.
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp. 195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun.
Yang menjadi masalah lain adalah ternyata alokasi gaji guru masih belum terpisah dari anggaran pendidikan ini. Alokasi ini mencapai Rp. 93,31 triliun atau sekitar 48% dari total anggaran. Sedangkan dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar. Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai Rp. 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun
Parahnya lagi, 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi. Jadi yang akan dinikmati oleh rakyat tidak Rp. 195,6 triliun secara bulat, karena sudah terlebih dahulu “dipotong” oleh koruptor yang mangaku entah itu wakil rakyat atau abdi masyarakat.
Sebenarnya, harapan rakyat tidak muluk-muluk. Cukup merasakan pendidikan sampai tamat SMA saja sudah tentu amat mereka syukuri. Bahkan untuk pendidikan yang berkualitas pun tidak pernah mereka pikirkan karena untuk bisa mengenyam pendidikan sudah menjadi sebuah kesulitan yang besar bagi mereka. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok membuat pos belanja mereka terkuras banyak untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja, sehingga pendidikan menjadi nomor kesekian dalam anggaran mereka (bahkan tak jarang sudah dihapus dari daftar pengeluaran).
Bukan !, bukan mereka tak ingin sekolah. Hanya keadaan memaksa mereka untuk menangguhkan keinginan itu. Memajukan dan meninggikan taraf hidup mereka lewat pendidikan tentu mereka juga ingin. Akan tetapi, mahalnya biaya sekolah membuyarkan impian mereka. Padahal tertulis bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan “ (BAB XIII tentang Pendidikan, Pasal 31 ayat 1). Ini harus dipenuhi oleh pemerintah, sebab; “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang ” (BAB XIII tentang Pendidikan, Pasal 31 ayat 2).
Jika pemerintah ingin kemajuan bangsanya sendiri, seyogyanya pendidikan menjadi perhatian yang penting. Setidaknya 20% anggaran pendidikan (diluar gaji guru dan tentu saja korupsi) harus bisa dinikmati rakyat.
Cukuplah mimpi saya menginginkan pendidikan Indonesia berkualitas, jika untuk Indonesia Berpendidikan pun sulit terwujud.
Tapi yang terjadi adalah kebalikan dari tujuan itu. Pendidikan kini kian terpinggirkan. Cerita indah bahwa seorang anak petani dapat berkuliah di Fak. Kedokteran sebuah Perguruan Tinggi Negeri, atau putra nelayan yang kuliah Teknik Pertambangan sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta sekarang semakin tidak dapat didongengkan. Suara-suara yang bercerita jika seorang anak pemulung bisa bersekolah hingga tamat SMA, telah sulit terdengar. Berganti dengan nada-nada disharmonisasi sumbang yang memainkan lagu bertemakan ironi dan sendu.
Seringkali kita dengar ada seorang anak SD kelas 5 yang bunuh diri lantaran malu untuk pergi ke sekolah karena menunggak bayaran sekolah, atau anak kecil yang dilarang pergi ke sekolah oleh orangtuanya dan memilih pergi mengamen (karena disuruh). Apakah ini isyarat yang diguratkan oleh para pendiri negeri ini ? Menjadi sebuah tujuan yang layak didengungkan ke dunia internasional ?. Jawabannya; tentu saja bukan.
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya masalah pendidikan yang melanda negeri ini. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ingin mengubah statusnya kian bergiat untuk berbenah diri dan mencari sebuah bentuk penyesuaian seperti menjadi makin mahalnya bangku kuliah. Privatisasi yang akhirnya berujung pada komersialisasi pendidikan seakan menegaskan bahwa pendidikan itu jauh dari rakyat kalangan menengah ke bawah. Tujuan dari perubahan status PTN tersebut atau lebih sering disebut dengan otonomi kampus adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Akan tetapi, sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, ada trend di beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga 60 jutaan. Sedangkan untuk program regular juga mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu hingga 25 juta. Dengan demikian, otonomi kampus nampaknya lebih cenderung pada bentuk komersialisasi pendidikan. Hingga akhirnya mengecilkan kesempatan untuk merasakan bangku kuliah. Bagaimana bila seorang anak bangsa yang mungkin tidak diterima di kampus negeri akhirnya tidak pernah bisa merasakan bangku kuliah lantaran kampus swasta sudah terlalu mahal ?.
Delapan belas koma delapan lima persen (18, 85 %) dari Rp. 1.037.067.338.120.000,00 telah membuktikannya. Bahwasanya perhatian pemerintah untuk pemerintah cukup rendah. Dalam laporan Panitia Kerja (Panja) Belanja Pemerintah Pusat disetujui belanja negara dalam RUU APBN 2010 adalah sebesar Rp. 1.037,6 triliun yang terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp. 723,2 miliar dan transfer ke daerah sebesar Rp. 314,4 miliar. Jumlah ini meningkat sebanyak Rp. 44,67 triliun dibandingkan dengan APBN pada tahun 2009.
Ironisnya, anggaran untuk pendidikan justru menurun saat APBN naik. Padahal, anggaran pendidikan tahun 2009 mencapai Rp. 207,4 triliun. Menyusut hampir Rp. 11,8 triliun, tidak sesuai dengan harapan kita bersama.
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp. 195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun.
Yang menjadi masalah lain adalah ternyata alokasi gaji guru masih belum terpisah dari anggaran pendidikan ini. Alokasi ini mencapai Rp. 93,31 triliun atau sekitar 48% dari total anggaran. Sedangkan dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar. Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai Rp. 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun
Parahnya lagi, 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi. Jadi yang akan dinikmati oleh rakyat tidak Rp. 195,6 triliun secara bulat, karena sudah terlebih dahulu “dipotong” oleh koruptor yang mangaku entah itu wakil rakyat atau abdi masyarakat.
Sebenarnya, harapan rakyat tidak muluk-muluk. Cukup merasakan pendidikan sampai tamat SMA saja sudah tentu amat mereka syukuri. Bahkan untuk pendidikan yang berkualitas pun tidak pernah mereka pikirkan karena untuk bisa mengenyam pendidikan sudah menjadi sebuah kesulitan yang besar bagi mereka. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok membuat pos belanja mereka terkuras banyak untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja, sehingga pendidikan menjadi nomor kesekian dalam anggaran mereka (bahkan tak jarang sudah dihapus dari daftar pengeluaran).
Bukan !, bukan mereka tak ingin sekolah. Hanya keadaan memaksa mereka untuk menangguhkan keinginan itu. Memajukan dan meninggikan taraf hidup mereka lewat pendidikan tentu mereka juga ingin. Akan tetapi, mahalnya biaya sekolah membuyarkan impian mereka. Padahal tertulis bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan “ (BAB XIII tentang Pendidikan, Pasal 31 ayat 1). Ini harus dipenuhi oleh pemerintah, sebab; “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang ” (BAB XIII tentang Pendidikan, Pasal 31 ayat 2).
Jika pemerintah ingin kemajuan bangsanya sendiri, seyogyanya pendidikan menjadi perhatian yang penting. Setidaknya 20% anggaran pendidikan (diluar gaji guru dan tentu saja korupsi) harus bisa dinikmati rakyat.
Cukuplah mimpi saya menginginkan pendidikan Indonesia berkualitas, jika untuk Indonesia Berpendidikan pun sulit terwujud.
Langganan:
Postingan (Atom)