Rangkaian kata yang indah dan penuh harapan. Biasanya masalah pendidikan menjadi sesuatu yang fundamen bagi sebuah negara atau bangsa. Indonesia sendiri telah mengisyaratkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….”, maka seakan pendidikan telah digariskan menjadi salah satu tujuan dari pendirian Indonesia.
Tapi yang terjadi adalah kebalikan dari tujuan itu. Pendidikan kini kian terpinggirkan. Cerita indah bahwa seorang anak petani dapat berkuliah di Fak. Kedokteran sebuah Perguruan Tinggi Negeri, atau putra nelayan yang kuliah Teknik Pertambangan sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta sekarang semakin tidak dapat didongengkan. Suara-suara yang bercerita jika seorang anak pemulung bisa bersekolah hingga tamat SMA, telah sulit terdengar. Berganti dengan nada-nada disharmonisasi sumbang yang memainkan lagu bertemakan ironi dan sendu.
Seringkali kita dengar ada seorang anak SD kelas 5 yang bunuh diri lantaran malu untuk pergi ke sekolah karena menunggak bayaran sekolah, atau anak kecil yang dilarang pergi ke sekolah oleh orangtuanya dan memilih pergi mengamen (karena disuruh). Apakah ini isyarat yang diguratkan oleh para pendiri negeri ini ? Menjadi sebuah tujuan yang layak didengungkan ke dunia internasional ?. Jawabannya; tentu saja bukan.
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya masalah pendidikan yang melanda negeri ini. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ingin mengubah statusnya kian bergiat untuk berbenah diri dan mencari sebuah bentuk penyesuaian seperti menjadi makin mahalnya bangku kuliah. Privatisasi yang akhirnya berujung pada komersialisasi pendidikan seakan menegaskan bahwa pendidikan itu jauh dari rakyat kalangan menengah ke bawah. Tujuan dari perubahan status PTN tersebut atau lebih sering disebut dengan otonomi kampus adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Akan tetapi, sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, ada trend di beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga 60 jutaan. Sedangkan untuk program regular juga mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu hingga 25 juta. Dengan demikian, otonomi kampus nampaknya lebih cenderung pada bentuk komersialisasi pendidikan. Hingga akhirnya mengecilkan kesempatan untuk merasakan bangku kuliah. Bagaimana bila seorang anak bangsa yang mungkin tidak diterima di kampus negeri akhirnya tidak pernah bisa merasakan bangku kuliah lantaran kampus swasta sudah terlalu mahal ?.
Delapan belas koma delapan lima persen (18, 85 %) dari Rp. 1.037.067.338.120.000,00 telah membuktikannya. Bahwasanya perhatian pemerintah untuk pemerintah cukup rendah. Dalam laporan Panitia Kerja (Panja) Belanja Pemerintah Pusat disetujui belanja negara dalam RUU APBN 2010 adalah sebesar Rp. 1.037,6 triliun yang terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp. 723,2 miliar dan transfer ke daerah sebesar Rp. 314,4 miliar. Jumlah ini meningkat sebanyak Rp. 44,67 triliun dibandingkan dengan APBN pada tahun 2009.
Ironisnya, anggaran untuk pendidikan justru menurun saat APBN naik. Padahal, anggaran pendidikan tahun 2009 mencapai Rp. 207,4 triliun. Menyusut hampir Rp. 11,8 triliun, tidak sesuai dengan harapan kita bersama.
Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp. 195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp. 82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp. 113,1 triliun.
Yang menjadi masalah lain adalah ternyata alokasi gaji guru masih belum terpisah dari anggaran pendidikan ini. Alokasi ini mencapai Rp. 93,31 triliun atau sekitar 48% dari total anggaran. Sedangkan dana alokasi khusus Rp. 9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp. 423,2 miliar. Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp. 7,94 triliun dan Rp. 2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai Rp. 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp. 22 triliun
Parahnya lagi, 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi. Jadi yang akan dinikmati oleh rakyat tidak Rp. 195,6 triliun secara bulat, karena sudah terlebih dahulu “dipotong” oleh koruptor yang mangaku entah itu wakil rakyat atau abdi masyarakat.
Sebenarnya, harapan rakyat tidak muluk-muluk. Cukup merasakan pendidikan sampai tamat SMA saja sudah tentu amat mereka syukuri. Bahkan untuk pendidikan yang berkualitas pun tidak pernah mereka pikirkan karena untuk bisa mengenyam pendidikan sudah menjadi sebuah kesulitan yang besar bagi mereka. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok membuat pos belanja mereka terkuras banyak untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja, sehingga pendidikan menjadi nomor kesekian dalam anggaran mereka (bahkan tak jarang sudah dihapus dari daftar pengeluaran).
Bukan !, bukan mereka tak ingin sekolah. Hanya keadaan memaksa mereka untuk menangguhkan keinginan itu. Memajukan dan meninggikan taraf hidup mereka lewat pendidikan tentu mereka juga ingin. Akan tetapi, mahalnya biaya sekolah membuyarkan impian mereka. Padahal tertulis bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan “ (BAB XIII tentang Pendidikan, Pasal 31 ayat 1). Ini harus dipenuhi oleh pemerintah, sebab; “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang ” (BAB XIII tentang Pendidikan, Pasal 31 ayat 2).
Jika pemerintah ingin kemajuan bangsanya sendiri, seyogyanya pendidikan menjadi perhatian yang penting. Setidaknya 20% anggaran pendidikan (diluar gaji guru dan tentu saja korupsi) harus bisa dinikmati rakyat.
Cukuplah mimpi saya menginginkan pendidikan Indonesia berkualitas, jika untuk Indonesia Berpendidikan pun sulit terwujud.
Selasa, 23 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sudah dengar tentang pembatalan UU BHP oleh MK? BHP dinilai tidak relevan dengan nilai-nilai pendidikan di Indonesia, dan tentu bertentangan dengan UUD 45. Akan tetpai meski BHP dibatalkan, impian pendidikan murah dan bermutu bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia (khusunya lapisan paling bawah) masih merupakan wacana yang entah dapat terlaksana. Cuma itikad baik dari pemerintah mungkin yang mesti merubahnya.
BalasHapusKebijakan AFTA serta Fre Trade lain yang akan segera menyusul membutuhkan benteng intelektual yang tidak sedikit. Persaingan bukan hanya di bidang trading, semua bidang kini bisa dijajakan.Terkait dengan kasusu korupsi, lebih bijaksana jika semua hasil korupsi yang dapat disita dapat dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan di seluruh indonesia. Harta korupsi yang masih belum dapat disita harus terus diupayakan agar bisa ditarik negara untuk dimanfaatkan.
Saya begitu miris melihat banyak anak jalanan berkeliaran di jam-jam sekolah. Saya begitu teriris ketika banyak anak-anak cerdas yang putus seklah hanya karena tak mampu bayar uang sekolah.
Meski pendidikan merupakan tanggung jawab bersama,segenap elemen bangsa, haruskah pemerintah melemparkan tanggung jawab bersama dengan dalih "pendidikan adalah tanggung jawab bersama?"