Kita dan Korupsi
Saya bingung. Bingung harus memulai dari mana. Ketidaktahuan saya akan banyak hal berakibat saya bingung harus menulis apa. Menulis sesuatu yang tidak saya pahami maksudnya membuat saya gentar. Terlebih tentang korupsi. Arti kata korupsi saja, saya tidak tahu. Aih, bingung sekali saya.
Setelah googling di internet ternyata kata korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Nah, berarti manusia yang melakukan tindakan korupsi itu artinya dia orang yang busuk? (silahkan pilih sesuai pilihan Anda dari pilhan jawabab yang ada diatas).
Lalu, apakah korupsi itu harus berhubungan erat dengan hal-hal yang menyangkut dengan kekuasaan atau yang berhubungan dengan unsur pemerintahan? Tentu tidak kan? Selama kita masih mengaku memiliki akal dan pikiran, kita masih berkesempatan untuk melakukan perilaku korupsi itu. Tapi bagusnya tentu dihindari, karena yang berkaitan dengan korupsi pasti tidak baik dan merugikan.
Perilaku korupsi yang mungkin yang paling sering kita dengar sepertinya korupsi waktu, yang bisa dilakukan oleh siapapun dan dimanapun, tak kenal jabatan dan pangkat serta status. Sebagai contoh; seorang teman saya pernah bercerita tentang rutinitas kerja di kantor Ibunya, disana para pegawai mulai masuk jam 8 lalu beristirahat pada jam 12 sampai jam 1 siang, itupun selama 4 jam tidak berjalan secara maksimal karena lebih sering dipakai mengobrol dan kegiatan-kegiatan yang cukup tidak jelas. Kemudian selepas istirahat setelah jam 1 mereka mulai bekerja lagi sampai waktu pulang jam 3 sore. Tapi sebenarnya antara jam 1 sampai waktu pulang itu justru lebih banyak berdiam dan beristirahat, sebuah kebiasaan majemuk orang Indonesia setelah makan siang. Padahal kantornya itu memegang peranan cukup penting di Indonesia tercinta ini, kalau model kerja pegawainya seperti itu bagaimana dengan pelayanan yang diberikan? Pasti akan jadi tidak maksimal kan? Kalau sudah begini entah harus menyalahkan siapa. Salah manusianya? Salah tempat kerjanya? Salah atasannya? Salah budaya kerjanya? Ataukah salah budaya bangsanya?
Omong-omong soal budaya, ada cerita yang ingin saya bagi. Sering timbul di benak saya : sebenarnya bagaimana sih budaya bangsa Indonesia itu? Kalau yang diajarkan di sekolah oleh guru biasanya; “Nak, jadi anak yang sopan ya? Jangan songong dan harus hormat ke siapa saja.”
Terus saya jadi bingung nih kalau berbicara soal budaya bangsa Indonesia yang katanya mengedepankan etika dan sopan santun. Maka menjadi wajar saat saya bingung lantaran saat heboh-hebohnya kasus perampokan uang negara sebesar Rp. 6,7 T melalui Bank Century dan di gedung DPR sana ketika Pansus Century memeriksa para saksi terkait perampokan itu tiba-tiba jadi ada yang sering mengumbar kata eika dan kesopanan. Tentu yang berbicara etika dan kesopanan itu adalah orang yang memiliki kapasitas untuk berlaku sopan dan penuh etika, sebab hanya orang naïf lah yang berbicara etika dan sopan santun di satu waktu, tapi berkelakuan yang berlainan dengan etika dan sopan santun di waktu yang lain.
Saya sangat tertarik dengan salah satu artikel di Tabloid Monitor Indonesia edisi 81 Tahun II/20-26 Januari 2010 tulisan Adhie M Massardi dengan judul Etika Penyelenggara Negara. Inspiratif sekali isi artikelnya, betapa tidak, beliau memblejeti (mengupas) habis-habisan kata etika dan sopan santun yang telah dibawa ke dalam panggung politik dan kepemimpinan di negeri ini. Dituliskan bahwa etika dan kesantunan telah menjadi idiom baru politik bangsa kita setelah kata reformasi yang terlebih dahulu populer sejak tahun 1998.
Di sepanjang era “politik santun yang beretika” ini ternyata juga tidak menghasilkan apa-apa bagi rakyat kebanyakan. Malah di era ini, lahirlah Markus-markus (makelar kasus) macam Artalyta, Anggodo dan yang paling ter-anyar diungkap; Gayus Tambunan. Bahkan untuk merampok uang Negara Rp. 6,7 T saja harus melalui rapat terlebih dahulu, hingga dini hari malah. Aneh kan?
Karena sekarang adalah zamannya etika dan sopan santun, orang-orang jai gemar curhat masalah pribadinya. Saya pernah membaca satu artikel di sebuah majalah tentang kegemaran curhat P******* kita yang semakin mengkhawatirkan, karena yang di-curhat-kan tidak memiliki manfaat apa-apa untuk bangsa ini. Bahkan cenderung ingin mengalihkan perhatian dari focus semula.
Lalu ada lagi cerita tentang etika dan kesantunan. Atas nama pencemaran nama baik, sang putra Pagar Alam dipanggil ke Trunojoyo untuk diperiksa terkait kasus penggelapan pajak Rp. 22 M yang melibatkan petinggi institusi yang berlokasi di Jl. Trunojoyo, Jakarta selatan tersebut. Banyak asumsi bahwa orang yang bercerita atau sekarang lebih dikenal sebagai whistle blower ini adalah orang yang tengah mengincar posisi nomor 1 di kantornya, karena ia merasa bahwa Bintang Tiga itu sudah mentok. Ada juga yang berpendapat bahwa itu adalah proyek balas dendam. Yah, apapun itu, pada intinya ternyata ada kasus korupsi di kantor penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum, justru yang terjadi sebaliknya; meruntuhkan hukum yang tengah diperjuangkan bersama.
Dan atas dasar etika dan kesantunan-lah saya tidak akan menyebutkan secara gamblang siapakah orang-orang atau lembaga/insitusi yang dimaksud.
Bingungkah anda dengan arti tulisan-tulisan saya ini? Belum menangkap maksud? Jangan khawatir, karena saya adalah orang yang suka bercerita. Cerita apa saja. Menceritakan banyak cerita dalam satu waktu pun saya terbiasa. Bahkan yang tampaknya berlainan pun saya sudah terbiasa.
Nah, cerita saya terlihat tidak berkait satu-sama lain? Tentu tidak kan? Ada satu tema besar yang ingin saya ceritakan disini bahwa, korupsi apapun bentuknya adalah tindakan pengecut. Bermain-main dengan korupsi artinya bermain-main dengan aturan etika dan kesantunan yang berlaku.
Satu hal yang penting adalah bahwa korupsi : “pasti merugikan orang lain!”. Semoga Allah memelihara dan menghindarkan kita dari sifat-sifat pengecut tadi.
Semoga anda tidak bingung, karena ternyata kebingungan saya sudah terjawab sepanjang penulisan ini. (April 2010)
Rabu, 09 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar